Hai Timnas Indonesia, Jangan Terlalu Euforia dan Jemawa

Tak diunggulkan di Grup B Piala AFF 2020 (2021) Timnas Indonesia malah menjadi juara grup. Meski demikian tim asuhan Shin Tae Yong ini belum pantas jemawa.

Kemenangan 4-1 atas Malaysia di Stadion Nasional Singapura pada Minggu (19/12) malam, bukanlah akhir. Masih ada dua leg pertandingan semifinal melawan Singapura, dan laga final jika lolos.

Meski Singapura hanya runner up Grup A, bukan berarti tim asuhan Tatsuma Yoshida itu pantas diremehkan. Sejarah telah membuktikan bahwa The Lions lebih digdaya dari Indonesia di Piala AFF.

Dari 12 edisi Piala AFF, sejak pertama kali bernama Piala Tiger pada 1996, tim penghuni peringkat ke-160 FIFA ini empat kali juara Piala AFF, yaitu pada edisi 1998, 2004, 2007, dan 2012.

Persentase Singapura meraih gelar juga tergolong tinggi setiap kali lolos ke babak semifinal. Dari lima kesempatan tampil di semifinal, empat di antaranya berujung juara dan hanya sekali gagal ke final dan lantas meraih tempat ketiga.

Adapun Timnas Indonesia delapan kali lolos ke babak semifinal Piala AFF. Tiga di antaranya menjuarai grup dan lima lainnya sebagai runner up. Dari delapan kali itu, gelar juara gagal digapai.

Timnas Indonesia menjadi juara grup pada edisi 1996, 2004, dan 2010, lantas runner up pada edisi 1998, 2000, 2002, 2008, dan 2016. Indonesia melaju ke final pada edisi 2000, 2002, 2004, 2010, dan 2016.

Pada edisi 2010 misalnya, Timnas Indonesia tampil digdaya. Firman Utina dan kawan-kawan menyapu bersih semua laga, melesakkan 13 gol dan hanya dua kali kebobolan. Sayang di partai puncak tak berkutik.

Ketika itu publik Indonesia terlalu euforia dengan penampilan di babak grup. Puja puji menggema di mana-mana. Bahkan sempat ada agenda makan malam dengan politisi di tengah-tengah jeda kejuaraan.

Belajar dari tiga kegagalan melaju ke babak final, Evan Dimas dan kawan-kawan selayaknya tak jemawa. Sikap besar kepala dan terlalu percaya diri akan meraih gelar bisa menjadi bumerang.

Beruntungnya tim asuhan Shin Tae Yong ini masih dianggap kuda hitam kejuaraan. Walau tampil impresif, Garuda Merah putih disebut belum selevel dengan Vietnam sebagai calon kuat juara.

Kabar baiknya lagi, sejarah membuktikan Singapura tak bernasib terlalu mujur saat menjadi tuan rumah. Dari empat kali menjadi tuan rumah Piala AFF, hanya sekali The Lions meraih gelar juara.

Itu terjadi pada edisi 2016 yang berlangsung pada 2017. Ketika itu Singapura menjadi juara grup B dan menang agregat 3-2 atas Thailand di laga final. Sama seperti edisi kali ini, Singapura tak diunggulkan.

Penampilan Timnas Indonesia arahan Shin Tae Yong dalam empat laga Piala AFF 2020 (2021) relatif tak terduga. Yang cukup mencolok, pelatih asal Korea Selatan itu bermain dengan gaya false nine.

False nine merupakan gaya permainan yang memaksa striker berperan sebagai 'penipu'. Ia tak hanya berperan mencetak gol, tetapi juga menciptakan ruang bagi rekan setim membuka peluang gol.

Hal tersebut diperankan Ezra Walian. Pemain 24 tahun ini dalam formasi baku menjadi ujung tombak, tetapi pada prakteknya lebih melebar sehingga tidak jelas siapa yang jadi juru gedor utama.

Ketika menghadapi Vietnam pada 15 Desember, Shin mengubah gaya menjadi 3-5-2. Pada praktiknya Ezra tak menjadi ujung tombak yang menunggu serangan balik, tetapi lebih sebagai gelandang serang.

Terakhir saat melawan Malaysia pada 19 Desember, menggunakan formasi 4-1-4-1. Sama seperti laga melawan Kamboja, Ezra sering tampil di sayap. Dua gol Indonesia menggambarkan itu.

Gol pertama Indonesia yang berawal dari umpan terobosan Rachmat Irianto kepada Witan Sulaeman, disambar Irfan Jaya. Dalam posisi serangan itu, Irfan di tengah dan Ezra agak melebar di sisi kirinya.

Lantas gol kedua Irfan yang memanfaatkan bola rebound sepakan Pratama Arhan, tercipta saat bek lawan luput mengawal Irfan. Bek lawan menempel Ezra yang berdiri sejajar dengan Irfan.

Dalam kesempatan lainnya Ezra juga banyak menjadi tembok. Ia hanya menjadi pengalih bagi lawan. Pergerakan Ezra dikawal cukup ketat, sehingga membuka peluang pemain lain melakukan invasi.

Pengamat sepak bola nasional Muhammad Kusnaeni menilai keputusan Shin menjadikan Ezra sebagai false nine sebagai keputusan bijak. Ini merupakan keputusan matang dari pengamatan yang presisi.

"Ezra banyak main di wing karena itu strategi. Dia membuka ruang, karena kalau bermain di tengah mungkin akan membuat peluang akan mudah terbaca. Ezra pintar," kata pengamat yang disapa Bung Kus itu.

Akankah strategi sama dipraktekkan Shin Tae Yong saat melawan Singapura? Sepertinya tidak. Pelatih 52 tahun ini punya pendekatan yang berbeda-beda dari pertandingan ke pertandingan.

Lebih baru Lebih lama